Pasti kalian mengira aku salah
ketik. Seharusnya sang embun kan? Tanpa huruf “g” tetapi aku tidak salah ketik
lho. Itu sudah benar penulisannya. Lalu siapa itu embung? Embung adalah
panggilan kesayangan untuk ibuku. Aku menemukan julukan itu saat pelajaran
biologi di SMA. Saat itu sedang dibahas materi tentang alat pencernaan manusia.
Lambung, entah kenapa aku suka mendengar nama alat pencernaan itu. Saat hari
itu sepulang sekolah, aku mulai memanggil ibuku dengan sebutan “embung”. Ibuku
juga tidak merasa keberatan saat aku mulai memanggilnya seperti itu tanpa
bertanya maksudnya apa. Panggilan itu berlaku hingga saat ini.
Kita semua pasti tahu kan kalau
lambung itu sangat penting? Ya seperti itulah ibu bagiku. Kita tidak akan bisa
hidup dengan baik tanpa lambung. Sama halnya dengan aku dan semua anak lainnya
tidak akan bisa hidup dengan baik tanpa kasih sayang atau setidaknya kehadiran
seorang ibu. Seorang yang tidak atau kurang mendapat kasih sayang ibu akan
terlihat berbeda perilakunya. Mereka bisa saja lebih kasar atau kurang beradab.
Karena seorang ibu tidak bisa digantikan perannya oleh seorang bapak. Namun
jika sebaliknya justru tidak apa. Banyak anak yatim yang sukses dan berbudi
baik berkat didikan ibu mereka. Itulah keistimewaan seorang ibu. Bisa menjadi
seorang ibu sekaligus seorang ayah.
Ibuku memang tidak lembut seperti
wanita pada umumnya. Beliau tegas cenderung galak. Namun itu tidak berarti
bahwa beliau bukan penyayang. Aku selalu ingat saat kecil aku pernah sakit
selama seminggu dan ibuku selalu berurai air mata setiap menyuapiku. Seiring
berjalannya waktu baru aku memahami bahwa sikapnya yang tegas itu adalah
caranya mendidik agar aku tidak manja dan cengeng. Cara mendidiknya itu
terbukti efektif. Banyak orang yang aku kenal mengakui bahwa aku pemberani dan
tentunya tidak cengeng.
“Jadi perempuan itu harus feminin
namun gak berarti kelewat lembut yang justru membuat kita terlihat lemah”, ujar
ibuku. Kata-kata itu selalu terngiang dan mungkin terpatri dalam ingatanku.
Jika aku sedang lelah dan tak bersemangat, aku mengingat kata-kata itu dan aku
menjadi kuat lagi. Ada lagi petuahnya yang sungguh dahsyat. “Jangan
mengandalkan orang lain, gak akan ada orang yang bisa membantu banyak. Hanya
diri kita yang dapat membantu diri kita sendiri,” tuturnya sambil menjahit bajuku
yang robek.
Aku selalu menceritakan banyak
hal kepada ibuku. Tetapi tidak semua hal aku ceritakan padanya. Terkadang aku
juga ingin memiliki privacy. Embungku pun memahami keinginanku itu. Ia seperti
tahu dari caraku berbicara, jika menurutku itu tak ingin aku ceritakan maka
ibuku tidak akan bertanya lebih lanjut. Namun tak jarang ibuku tahu dengan
sendirinya tentang hal itu. Entah karena firasat seorang ibu atau bagaimana
caranya, yang jelas ibuku cukup cerdik untuk tahu banyak hal yang aku
sembunyikan. Kalau meminjam istilah anak sekarang, ibuku itu orang yang kepo.
Sepertinya itu menurun kepadaku.
Manusia memiliki kekurangan dan
kelebihan, begitu pula ibuku. Terlepas dari itu semua, aku sangat
menyayanginya. Aku tak pernah sakit hati jika ia marah dan berbicara dengan
nada yang tinggi. Aku hanya diam dan membiarkannya meluapkan segala kekesalan.
Tak lama setelah itu ibuku akan baik seperti sedia kala. Tak pernah sekalipun
terlintas aku ingin punya ibu seperti si ‘A’ atau si ‘B’ karena ibuku adalah
yang terbaik yang aku punya. Embung yang selalu dekat, merekat erat seperti
lambung dalam tubuhku.
Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com
Komentar
Posting Komentar